Pelaporan kasus kekerasan, baik itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, maupun kekerasan pada anak, seringkali menjadi pengalaman yang traumatis dan sangat sulit bagi korban. Kesadaran akan sensitivitas psikologis ini mendorong Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) untuk bertransformasi dalam penanganan laporan. Pendekatan humanis, yang menempatkan empati dan kenyamanan korban di atas segalanya, kini menjadi standar operasional wajib. Kunci utama dalam proses ini adalah Mendengarkan Korban dengan penuh perhatian dan tanpa penghakiman. Mendengarkan Korban bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi untuk mendapatkan keterangan yang akurat dan memulai proses pemulihan keadilan.
Peran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
POLRI telah membentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polres dan Polda. Unit ini secara khusus diisi oleh penyidik wanita yang telah menerima pelatihan khusus mengenai psikologi korban dan trauma-informed care. Mereka bertugas memastikan bahwa korban merasa aman dan didukung.
Salah satu inovasi penting dalam Mendengarkan Korban adalah penyediaan ruang khusus yang bersifat privat dan non-intimidatif, jauh dari hiruk pikuk ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Sebagai contoh, pada Hari Senin, 10 Maret 2025, Unit PPA Polres X mencatat adanya layanan konseling dan pelaporan kepada dua korban KDRT. Proses interogasi dilakukan di ruangan khusus yang dirancang dengan suasana yang menenangkan, meminimalkan interaksi korban dengan pelaku atau pihak luar yang tidak berkepentingan, sehingga korban merasa nyaman saat memberikan keterangan yang sangat dibutuhkan untuk proses hukum.
Pentingnya Keterangan yang Valid dan Non-Viktimisasi
Proses Mendengarkan Korban yang baik tidak hanya membantu pemulihan emosional korban, tetapi juga menghasilkan keterangan yang valid dan utuh untuk penyidikan. Penyidik Unit PPA dilatih untuk menghindari pertanyaan yang menyalahkan korban (victim blaming). Sebaliknya, fokus diarahkan pada detail kejadian, bukti, dan dampak kekerasan yang dialami korban.
Petugas kepolisian Unit PPA juga berperan sebagai penghubung (liaison) antara korban dan lembaga pendamping lainnya, seperti psikolog klinis atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berdasarkan data kasus yang ditangani PPA Polda tertentu pada tahun 2024, rata-rata durasi konseling awal yang diberikan kepada korban kekerasan seksual adalah 90 menit sebelum dimulainya proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal. Durasi ini menunjukkan waktu yang cukup bagi petugas untuk membangun kepercayaan dan memastikan korban siap secara mental. Pendekatan ini adalah wujud implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengedepankan hak-hak korban di setiap tahapan proses hukum.
