“Kriminalisasi” Pelapor: Studi Kasus Upaya Hukum Balik oleh Oknum Polisi Terhadap Warga Sipil

Fenomena “kriminalisasi” pelapor merupakan isu serius yang mengancam keadilan dan partisipasi publik dalam penegakan hukum. Istilah ini merujuk pada situasi di mana seseorang yang melaporkan dugaan tindak pidana atau penyalahgunaan wewenang justru berbalik ditetapkan sebagai tersangka. Dalam banyak Studi Kasus, pola ini sering terlihat ketika warga sipil berhadapan dengan oknum polisi yang menggunakan kewenangan untuk upaya hukum balik yang tidak profesional.

Pola kriminalisasi ini seringkali dimulai dari laporan balik yang diajukan oleh pihak yang dilaporkan, dalam hal ini oknum polisi, menggunakan pasal-pasal “karet” seperti pencemaran nama baik atau Undang-Undang ITE. Tujuannya bukan untuk mencari kebenaran materiil, melainkan untuk membungkam pelapor dan memberikan chilling effect—efek gentar—kepada masyarakat lain agar urung bersuara.

Dalam konteks hukum, kriminalisasi terhadap pelapor menciptakan dilema yang mendalam. Seharusnya, negara menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang beritikad baik melaporkan kejahatan. Namun, ketika hukum justru menjadi alat represi oleh oknum polisi yang merasa terancam jabatannya, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan runtuh.

Terdapat banyak Studi Kasus yang menunjukkan pola ini. Misalnya, seorang warga yang melaporkan tindakan kekerasan atau dugaan korupsi oleh oknum polisi tiba-tiba dituduh melakukan fitnah. Proses hukum terhadap pelapor ini sering berjalan cepat dan terstruktur, sementara laporan awal yang mereka ajukan malah jalan di tempat atau dihentikan dengan alasan kurang bukti.

Upaya hukum balik yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut bukan sekadar insiden perorangan, melainkan indikasi masalah sistemik dalam pengawasan internal. Kurangnya sanksi signifikan dan proses pemeriksaan yang berlarut-larut di internal Propam membuat oknum polisi merasa nyaman menggunakan kewenangannya untuk melakukan kriminalisasi.

Lembaga bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam mengadvokasi korban kriminalisasi. Melalui jalur praperadilan dan pengawasan publik, mereka berupaya membongkar dugaan ketidakprofesionalan oknum polisi dan memastikan bahwa hak-hak pelapor sebagai whistleblower atau saksi tetap terjamin di mata hukum.

Oleh karena itu, reformasi mendalam dalam institusi kepolisian dan penegakan hukum menjadi kunci. Perlindungan hukum yang tegas bagi pelapor adalah keharusan, di mana setiap laporan harus ditindaklanjuti secara profesional, tanpa ada ruang bagi oknum polisi untuk membalas dendam melalui kriminalisasi menggunakan kekuasaan.

Pada akhirnya, penyelesaian Studi Kasus kriminalisasi ini akan menjadi barometer bagi kualitas penegakan hukum di Indonesia. Negara harus membuktikan diri sebagai pelindung rakyat, bukan menjadi alat bagi oknum polisi untuk mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan pelapor yang mencari keadilan.