Kebiri Kimia dan Deteksi Elektronik: Hukuman Tambahan bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Kebiri Kimia dan deteksi elektronik adalah dua bentuk hukuman tambahan yang diterapkan pada pelaku kejahatan seksual. Langkah ini menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi masyarakat, terutama anak-anak. Tujuannya adalah meminimalisir risiko residivisme atau pengulangan kejahatan. Kebijakan ini merupakan respons terhadap meningkatnya kasus kejahatan seksual.

Kebiri Kimia adalah tindakan medis yang mengurangi hasrat seksual pelaku. Ini dilakukan dengan pemberian zat kimia yang menekan produksi hormon testosteron. Prosedur ini bersifat sementara dan reversibel. Tujuannya bukan untuk menghukum fisik, melainkan untuk mengendalikan dorongan seksual yang berbahaya.

Penerapan Kebiri Kimia diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. Ini menunjukkan payung hukum yang kuat untuk tindakan kontroversial namun dianggap perlu ini. Pelaku kejahatan seksual berulang menjadi target utamanya.

Selain Kebiri Kimia, hukuman tambahan lain adalah pemasangan alat deteksi elektronik. Alat ini berfungsi untuk memantau pergerakan pelaku setelah bebas dari penjara. Ini memastikan mereka tidak mendekati korban atau area terlarang. Pengawasan ketat ini penting untuk keamanan masyarakat.

Alat deteksi elektronik biasanya berupa gelang yang dipasang di pergelangan kaki. Gelang ini terhubung dengan sistem pemantauan. Jika pelaku melewati batas wilayah yang ditentukan, alarm akan berbunyi. Ini memberikan peringatan dini kepada pihak berwenang.

Tujuan utama dari hukuman tambahan ini adalah pencegahan. Baik Kebiri Kimia maupun deteksi elektronik, keduanya dirancang untuk mengurangi potensi pelaku mengulangi kejahatan. Ini adalah upaya proaktif untuk melindungi calon korban dari bahaya. Masyarakat merasa lebih aman dengan langkah ini.

Meskipun efektif, penerapan hukuman ini juga menimbulkan perdebatan. Isu etika, hak asasi manusia, dan efektivitas jangka panjang menjadi perhatian. Namun, pemerintah menegaskan bahwa perlindungan korban dan masyarakat adalah prioritas utama. Keseimbangan antara hak pelaku dan keamanan publik dipertimbangkan.

Proses penetapan hukuman tambahan ini dilakukan oleh pengadilan. Hakim akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk riwayat kejahatan pelaku. Rekomendasi dari psikolog atau psikiater juga bisa menjadi pertimbangan penting. Keputusan harus melalui proses yang cermat.