BAYAR adalah sebuah karya musik yang melejitkan nama Sukatani Band sekaligus memicu kontroversi. Lagu bergenre punk ini menjadi sorotan tajam karena liriknya yang lugas mengkritik praktik pungutan liar (pungli) dan dugaan korupsi dalam institusi publik, khususnya yang menyentuh oknum kepolisian. Karya seni ini membuktikan bahwa musik adalah medium efektif untuk menyuarakan keresahan sosial.
Keresahan publik terhadap praktik yang mengharuskan masyarakat untuk selalu BAYAR dalam berbagai urusan layanan disuarakan dengan lantang. Liriknya menyoroti berbagai ironi, mulai dari pengurusan surat penting hingga kasus hukum, yang seolah-olah semuanya membutuhkan “biaya pelicin.” Inilah inti kritik sosial yang ingin disampaikan oleh band punk asal Purbalingga tersebut kepada para penikmat musik.
Keberanian Sukatani Band dalam memilih tema korupsi dan pungli menjadikan lagu ini cepat viral di media sosial. Para pendengar merasa terwakili atas ketidakadilan yang sering mereka hadapi. Frasa repetitif “Aduh aduh ku tak punya uang, untuk bisa BAYAR polisi” menjadi sindiran keras yang menohok. Viralnya lagu menunjukkan betapa isu ini sangat sensitif di tengah masyarakat.
Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bukan sekadar jeritan. Ini adalah cerminan dari kegelisahan masyarakat yang lelah dengan sistem yang dianggap memberatkan. Kritik dalam karya ini bersifat konstruktif, berharap adanya perbaikan dalam tata kelola layanan publik dan penegakan hukum. Pesan ini relevan, mengingat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih terus menjadi tantangan.
Kontroversi memuncak ketika lagu ini ditarik dari berbagai platform streaming musik tak lama setelah viral. Langkah ini disertai dengan video permintaan maaf dari personel Sukatani kepada institusi kepolisian. Reaksi publik terbelah. Ada yang menyayangkan penarikan, melihatnya sebagai bentuk pembungkaman ekspresi kritik, sementara yang lain memahami konteks hukum.
Meskipun lagu ditarik, pesan kritis dari BAYAR, BAYAR, BAYAR tidak lantas hilang. Isu pungli dan korupsi tetap menjadi diskursus penting. Kasus ini memicu diskusi lebih luas mengenai kebebasan berekspresi dalam seni dan batasan kritik terhadap institusi negara. Ini menunjukkan dampak besar sebuah lagu terhadap kesadaran dan wacana publik.
Fenomena ini mengingatkan semua pihak bahwa kritik melalui karya seni, termasuk lagu, adalah bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi yang dilindungi. Institusi publik perlu bersikap terbuka dan menjadikan kritik ini sebagai evaluasi internal. Intinya, kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya akuntabilitas dan transparansi.
